top of page
avroomjucucor

Tafsir At Thabari



In the preface, general facts about the Quran are given, including its superiority to any other text, what tafsir and tawil are, the seven qira'at, companions who commented on the Quran and the naming of the suras.[1][6]


Interpretations start with "al-qawlu fī ta'wīli qawlihi ta'ālā" (English: The tawil of this word of God is) for every verse. Then hadith and other previous interpretations are stated and classified according to their compatibility to each other. Interpretation using other verses and Arabic language is favored, qualifying this tafsir as riwaya, but the inclusion of critiques and reason is an integral part of the books unique character; as Tabari has refrained from interpretation using merely his own opinion and opposed those who do so.[1][8]




Tafsir At Thabari



It was marked by the same fullness of detail as his other work. The size of this work and the independence of judgment in it seem to have prevented it from having a large circulation, but scholars such as Baghawi and Suyuti used it largely; Ibn Kathir used it in his Tafsir ibn Kathir.[10] Scholars including Suyuti have expressed their admiration towards this tafsir, regarding it as the most valuable of commentaries.[1][11] Until well into the 19th century Al-Tabari's tafsir was considered lost by Western scholars, who knew it only from fragmentary quotations. In 1860 Theodor Nöldeke wrote: "If we had this work, we could do without all the later commentaries."[12]


Mansur I, a Samanid king who ruled in Khorasan between 961 and 976, asked for the legal opinion (fatwa) of jurists on the permissibility of translating the Quran into Persian. The scholars affirmed that reading and writing the translation of the Quran in Persian was permissible for those who did not speak Arabic. Subsequently, the King ordered a group of scholars from Transoxiana and Khorasan to translate Tafsir al-Tabari into Persian. The Persian translation of the tafsir has survived and has been published numerous times in Iran.


Konon, tafsir al-Thabary ini sempat hampir hilang dari peredaran namun dengan izin Allah naskah lengkapnya pada akhirnya ditemukan dalam penguasaan seorang mantan amir Najed yaitu amir Hamud bin amir Abdu al-Rasyid dan kemudian di salin untuk diterbitkan sehingga bisa sampai pada tangan kita sekarang.


Salah satu ciri khas lainnya dari tafsir ini ialah ketika beliau sampai pada perdebatan tafsir mengenai hal yang dalam pandangan beliau kurang bermanfaat ataupun tidak menjadi persoalan andai hal tersebut tidak diketahui, maka beliau akan cenderung mempersingkat penjelasannya. Contoh ketika pembahasan ayat ke 112 dari surah al-Maidah.


Al-Hafiz Ibnu Katsir adalah tokoh dalam bidang tafsir yang telah mengambil banyak manfaat dari Tafsir ath-Thabari ini sekaligus menghasilkan ringkasan dan menambahkan banyak manfaat berkaitan dangan hadis, fiqh, ushul, sejarah, dan beberapa yang lainnya yang bermanfaat yang kemudian dikenali sebagai Tafsir Ibnu Katsir.


Kedua tafsir ini ditulis oleh ulama besar di antara para Ulama Ahlus Sunnah. Para Ulama senantiasa memberi nasihat agar memiliki dan mempelajari keduanya. Masing-masing dari keduanya memiliki keistimewaan yang menjadikan para penuntut ilmu tidak bisa menyebutkan kelebihan salah satu dari yang lainnya, dan dibawah ini sekilas tentang kedua tafsir tersebut :


Sesungguhnya bagi para penuntut ilmu dua kitab tafsir ini adalah sebuah kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Jika menilik keutamaan antara keduanya, maka sesungguhnya Tafsir Ibnu Jarir tidak ada seorang ulama pun setelahnya yang mengarang sepadan dengan kitab tersebut dan dia merupakan bekal bagi para Ulama dan bagi para penuntut ilmu. Akan tetapi kitab ini tidak cocok bagi kalangan awam, karena ketidaksanggupan mereka dalam memahami tafsir tersebut. Adapun Tafsir Ibnu Katsir dia lebih mudah bagi kebanyakan orang, dan di dalamnya juga terdapat faedah-faedah yang teramat besar bagi para ulama dan penuntut ilmu. .


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memahami Alquran, teks yang berisi firman Allah, tak jarang memerlukan sebuah tafsir. Melalui tafsir kita mampu memahami apa yang dimaksud Allah dalam firman-Nya itu. Tak heran jika di kalangan umat Islam bermunculan ahli tafsir dengan beragam karyanya.


Melalui karya para ahli tafsir Alquran itu, masyarakat awam mampu memahami isi Alquran. Salah satu ahli tafsir yang sangat berjasa ialah Ibn Jarir Ath Thabari. Nama lengkapnya, Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib ath-Thabari. Ia lahir Thabristan, daerah pegunungan Persia pada 224 H.


Ilmu hadis, sejarah, dan Alquran yang dikuasai menjadi modal bagi Ath Thabari untuk menguasai tafsir Alquran. Ia tumbuh menjadi ahli tafsir yang menjadi rujukan dan melahirkan karya yang monumental. Tafsir Jami'ul Bayan fit Tafsiril Qur'an yang lebih dikenal Tafsir Ath-Thabari, merupakan referensi bagi ahli tafsir lain setelah masanya.


Dengan karya besarnya itu, kemudian Ath Thabari mendapatkan julukan marja'ul maraji (induk para ahli tafsir). Ia adalah ahli tafsir awal yang karya tafsirnya sampai kepada masyarakat setelah masanya. Karyanya merupakan sebuah karya yang fenomenal.


Selain itu, tafsir Ath Thabari memiliki kualitas yang tinggi. Tafsirnya penuh dengan pijakan tafsiran Rasulullah (sunah), pendapat para sahabat dan tabi'in serta tabi'ut tabi'in. Tafsir yang demikian lebih dikenal dengan tafsir bil ma'tsur, tafsir berdasarkan riwayat dan bukan tafsir bir-ra'yi yang berarti tafsir yang didasarkan akal dan pendapat pribadi. Ath Thabari memang memiliki kelebihan dalam beragam bidang. Kelebihannya ini membuat karya tafsirnya dianggap paling sahih dan hidup.


Ahli tafsir ini amat menguasai sejarah, hadis maupun fikih. Bahkan dalam fikih ia mendapatkan gelar sebagai mujtahid mutlak. Laiknya para imam-imam besar fikih perintis, seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali.


Karya tafsirnya dianggap sahih karena ia selalu menafsirkan suatu ayat dalam kitab suci dengan berpegang pada pendapat para sahabat dan tabiin. Thabari selalu mencoba mencari pendapat yang kuat dengan memperlihatkan kekuatan dan kelemahan masing-masing dari berbagai segi.


Kemudian ia akan mengambil pendapat yang paling valid dan argumentatif. Sering ia menolak hadis untuk dijadikan argumentasi dalam sebuah penafsiran. Itu bila ia menganggap hadis tersebut lemah. Selain itu, juga karena hadis tersebut dianggapnya tak sesuai menjadi pijakan argumentasi dari suatu ayat yang ia tafsirkan.


Biasanya, Ath Thabari mengambil langkah awal menafsirkan sebuah tafsir dengan mencari makna suatu ayat dari segi bahasa. Ia memahami arti lahiriah kata per kata. Untungnya, ia memiliki kemampuan dalam bidang bahsa dan sastra. Tahap selanjutnya, ia pun memasukkan aspek lain dalam melakukan penafsiran.


Metode yang digunakan adalah metode Tahlili dengan langkah-langkah memaparkan ayat yang dibahas kemudian mengkajinya dari segala segi dan makna, ayat demi ayat, surat demi surat sesuai dengan urutan mushaf utsmani, yang memaparkan mufrodât, munâsabah, dan asbâbun nuzûl. Memaparkan tafsir ayat tersebut dengan merujuk pada tafsir ath-Thabari, kemudian menyebutkan karakteristik wanita shalihah dalam ayat tersebut.


Ibnu Jarir At-Thabari dikenal dengan julukan Imam At-Thabari. Ia merupakan pengarang kitab Jamiul Bayan fi Tafsir Al-Qur'an yang dikenal dengan Tafsir At-Thabari (12 jilid). Tafsir itu dikenal sebagai tafsir Al-Qur'an bil ma'tsur.


Selain karyanya di bidang tafsir Al-Qur'an, ada juga karyanya di bidang sejarah yaitu Tarikh al-Umam wa al-Muluk yang dikenal dengan Tarikh At-Thabari (4 jilid). Di bidang fiqih karyanya yang terkenal adalah Ikhtilaf al-Fuqaha.


Al-Tabari banyak memberikan inspirasi baru bagi mufasir sesudahnya. Tafsirnya memiliki karakteristik tersendiri dibanding dengan tafsir-tafsir lainnya. Ia memuat analisis bahasa yang sarat dengan syair dan prosa Arab kuno, variant bacaan, perdebatan isu-isu bidang kalam, dan diskusi seputar kasus-kasus hukum sebagaimana dikatakan Mihammad Yusuf tanpa harus melakukan klaim kebenaran subjektifnya.


Selain mengumpulkan riwayat secara lisan, al-Thâbari juga menggunakan sumber-sumber tertulis yang ia cantumkan di dalam kitab tafsirnya. catatan ini diperoleh dengan menghadiri beberapa majelis. Selain catatan pribadi dari menghadiri beberapa majelis, al-Tâbari juga menyalin kitab sejarahnya Ibn ishaq (II H) melalui para masyayikh yang sezaman dengannya. Adapun jalur riwayat yang menghubungkan al-Tâbari dengan ibn Ishaq yaitu melalui Yunus bin Bukair. Akan tetapi, salinan kitab ibn Ishaq yang ditulis oleh Yunus bin bukair telah banyak mengalami penambahan catatan dan keberpihakan pribadi atas pemikiran Yunus bin Bukair.


Meskipun adanya kesamaran sanad dan matan, al-Tâbari berhasil mengubah tradisi tafsir yang mulanya hanya dari mulut ke mulut, lembaran-lembaran ringkasan materi tafsir dan kemudian dibukukan menjadi ensiklopedi tafsir al-Quran. Terlebih, di abad ke III H tersebut, al-Tâbari sudah menggunakan istilah takwîl, yang mana istilah ini belum digunakan oleh mufassir manapun sebelum al-Tâbari.


How to cite this Article: Nailul Wirdah,Potret Riwayat-Riwayat dalam Tafsir al-Tâbari (Reveiw as-Syafawi wal maktȗb fi khitâb at-Tafsír al-Thabârí karya Bassam al-Jamal), studitafsir.com (blog), September 25, 2022 (+ URL dan tanggal akses). 2ff7e9595c


0 views0 comments

Recent Posts

See All

Baixar livros inglês para iniciantes grátis

Скачать книги английский для начинающих бесплатно: как и где найти лучшие ресурсы Вы хотите изучать английский язык, но не знаете, с чего...

Comments


bottom of page